Selamat malam.
Di antara draft tulisan yang tak kunjung selesai, di antara buku-buku yang kubacai halamannya secara acak, di antara proposal-proposal penelitian yang belum ada seperempat jalan, di antara skill memasakku yang bertambah baik karena setiap hari berlatih di hari-hari pengangguranku, di antara perjuanganku menghentikan kebiasaanku bangun siang, dan di antara usahaku untuk mendapatkan beasiswa S2, Aku ingin bercerita tentang pernikahanku yang berjalan sudah 8 bulan.
Aku mengetik tulisan ini di ponsel pintar suamiku yang canggih sekali. Kulirik sekali lagi cincin yang melingkar di jari manisku, seorang lelaki terlalu berani menautkan dirinya padaku, perempuan yang kata banyak orang rumit dan ceroboh. Lelaki yang tiap akan berangkat dan pulang kerja mengajakku berpelukan beberapa menit sambil berkata, "kita sudah menikah ya?" sambil tersenyum manis sekali, sedang di lain waktu bisa mengomel tanpa henti ketika aku ceroboh dan bangun kesiangan.
Ponsel pintar milik suamiku ini baru, karena sekitar dua minggu yang lalu ketika dia mengajakku berjalan-jalan di perbukitan di Pekalongan selatan secara tidak sengaja ponsel kami berdua terendam dengan sempurna di tas waterproof imut berwarna ungu hadiah dari suami. Kedua ponsel kami mati. Keindahan buķit yang penuh dengan keanekaragaman hayati itu mendadak hening. Di saat seperti ini, di saat kami berhemat karena aku sudah tidak bekerja sejak sebulan lalu, di saat kami sedang secara pas-pasan menyewa tempat tinggal sendiri, di saat suamiku ingin membelikan sepeda motor bekas untuk adiknya, di saat Aku sedang doyan jajan hahaha.. kami harus berusaha menyelamatkan ponsel tersebut.
Singkat cerita, ponsel tidak hidup, trik merendamnya dengan beras tiada berguna. Mood suamiku dari yang awalnya tenang, mulai menyebalkan. Dia sejak awal kutengarai sedang berusaha menyalahkanku tentang kejadian ini. Kenapa tutup botol di tas kami bisa terbuka? Kenapa kami menempatkan ponsel kami di tempat kami menaruh botol? Aku tidak terima. Namun, ada rasa bersalah sekaligus insecure. Selain ceroboh aku merasa tidak mampu memberikan sumbangsih agar komunikasi dengan orang lain tidak terganggu. Begitulah hingga akhirnya dia memutuskan membeli ponsel baru, karena ponsel kami belum juga pulih setelah dua minggu opname di tukang servis. Sedang aku harus terima dengan ponsel pintar sederhana pinjaman teman. Aku berpikir seandainya aku bekerja, pasti dengan mudah aku akan segera membeli yang baru.
Dia minta izin kepadaku untuk menggunakan uang kami yang sebenarnya mayoritas adalah uang dia untuk membeli ponsel, kusarankan yang bagus sekalian. Tabungan kami terpotong banyak, rasanya deg-degan, eman sekali. Entah apa yang ia rasakan. Namun di saat saya tak mampu menghasilkan uang sendiri seperti saat ini saya merasa sedih harus mengeluarkan uang dengan nominal segitu. Eman, tapi kami butuh hiburan. Ponsel ini sedikit mengobati kekecewaan dan kemarahan kami atas apa yang terjadi.
Jadi, apa yang dapat kuceritakan di sini sebenarnya? Hal ini adalah salah satu kejadian dalam pernikahan kami. Sebenarnya ada beberapa hal penting lainnya yang menandai suatu fase dalam hidupku. Sesuatu dapat dikatakan fase penting, ketika suatu kejadian membawa dampak bagi hidup kita. Yang aku sadari ada perubahan signifikan dalam hidup kami, antara lain:
1. Kami mulai berhitung
Kami tidak lagi santai ketika belanja atau membeli sesuatu. Hal tersebut yang paling kuat aku rasakan. Kami memiliki beberapa rencana dan itu membutuhkan uang. Itu mengapa banyak orang menikah menjadi sangat spaneng kurasa. Sikap kita terhadap uang yang mulai bergeser.
Uang menjadi semakin utama karena ketakutan kita tak mampu menghadirkan kenyamanan dan kemewahan kepada pasangan dan anak-anak kita nantinya jika kita tidak menggunakannya dengan bijak. Dalam beberapa hal dan titik tertentu hal ini baik. Namun jika kadar ini berlebihan kurasa akan menjadi malapetaka. Kita akan lupa menikmati hari ini, kita lupa beberapa pengeluaran yang layak untuk menciptakan petualangan, pengalaman dan romantisme penguat hubungan.
2. Kami berpotensi saling menyalahkan jika ada hal buruk terjadi
Hidup berdua, kami membuat keputusan berdua. Kami selalu berusaha meminimalkan intervensi dari siapapun. Sehingga ketika hal buruk terjadi, sejatinya hal tersebut adalah cerminan diri. Namun bodohnya, frustasi kami membawa kami untuk mencari pelampiasan kemarahan. Dan siapa lagi yang bisa kami salahkan? Tentu saja salah satu di antara kami. Suara kami menggaung, keburukan yang kami sebutkan bersumber dari masing-masing diri kami sendiri. Kenyamanan dan kepercayaan sebagai suami istri kadang membuat kami berpikir kami berhak dan boleh melempar apapun kehadapan pasangan kami dengan keyakinan bahwa dia pasti dan harus menerima kami kembali. Dan sungguh jika kami tidak berhati-hati atas hal tersebut, kami berpotensi saling menghancurkan, saling melukai, saling membunuh karakter, saling melabeli.
Orang yang saling mencintai dan saling memiliki adalah orang yang paling berpotensi untuk saling menyakiti. Kami harus berhati-hati, kami harus memberi jeda dan mengehala napas ketika kebisingan mulai berdenging di telinga karena kami meneriakkan keburukan kami sendiri ke muka pasangan. Jika kita tidak mengenali tanda tersebut kebisingan akan menelusuk di hati dan menguasainya.
3. Aku merasa rendah ketika tidak dapat berkontribusi secara finansial
Sejak aku kecil bapak sering mengingatkan, perempuan harus mandiri, termasuk dalam hal finansial yang berarti bekerja. Bapakku mengatakan hal tersebut karena melihat bagaimana perempuan di sekitarnya diperlakukan semena-mena oleh lelaki. Bapakku sadar, lelaki di Indonesia masih jauh perjalanannya untuk mampu memandang perempuan setara, dengan tidak mendomestifikasi dan tidak membuat perempuan tergantung kepadanya sehingga dia bisa memperlakukan seenaknya dia saja, untuk kawin lagi atau mencari kesenangan sendiri. Sedang rahim perempuan bukan sepenuhnya milik perempuan, masyarakat mengharuskan dia beranak, lelaki membutuhkan anak untuk mengukuhkan kelelakiannya. Sehingga perempuan kawin dengan lelaki untuk beranak, perempuan tidak bekerja karena seperti itu sudah aturannya, lelaki mencari kesenangan di luar, anak tidak dinafkahi.
Bapak dan ibukku sudah terbiasa mendengar kisah perempuan direndahkan lelaki di kampung-kampung, cerita begini bukan hanya dikisahkan oleh de Beauvoir saja. Sudah berapa perempuan yang coba mereka tolong secara teknis dan psikis. Tidak salah bukan jika mereka berdua hanya tidak mau anaknya diperlakukan demikian dengan seorang lelaki? Apa artinya mereka berdua tidak percaya kepada kasih sayang menantunya? Tidak, bukan begitu. Mereka percaya suamiku adalah lelaki yang memandang perempuan sepenuhnya manusia dan punya kekuatan. Namun, kepercayaan itu baiknya bukan digantungkan kepada orang lain, tetapi diri sendiri. Untuk mandiri, untuk siap atas apapun yang akan terjadi di kemudian hari.
Mengingat hal tersebut, aku seringkali khawatir jika tidak bekerja. Selain khawatir aku hanya akan jadi beban untuk suami, aku juga khawatir jika suatu saat hal buruk terjadi aku tidak mampu menopangnya. Aku merasa rendah. Pelukan suamiku meyakinkanku, bahwa ada saatnya aku harus meletakkan kekhawatiranku tersebut. Bahwa kontribusi seseorang tidak selalu tentang uang. Dan ketergantungan seseorang ke seseorang lainnya juga tidak selalu tentang uang. Maka kami sepakat walaupun bersama kami akan saling mengadakan rencana cadangan. Suamiku belajar memasak kemarin, berjaga-jaga jika hal buruk terjadi padaku. Terutama kami berencana memiliki anak dan mengusahakan kesejahteraan sebaik-baiknya untuk mereka kelak. Tentu saja kami tidak boleh gagal fungsi. Selain itu, kami harus mulai melihat bahwa pemberian bukan selalu tentang penanaman kuasa, tetapi juga ekspresi cinta. Begitu juga soal nafkah.
4. Kami sungguh terpaut dengan barang
Kami sadari, di tengah proses untuk saling menyelami kegembiraan dan kesedihan kami banyak sekali terkait dengan barang. Pertengkaran, ungkapan cinta kasih, frustasi, kesepian, pengabaian terwakili oleh barang-barang yang kami hadirkan dan kami lekatkan pada masing-masing diri kami. Baik sebagai nilai guna maupun sebagai nilai simbol. Begitulah kami sebagai manusia biasa yang terpacu, bersemangat maupun kehilangan karena barang. Saya tak dapat banyak berharap soal ini, saya hanya berusaha dan selalu berdoa agar kepemilikan kami terhadap sesuatu tak akan mampu mereduksi nilai atas kehadiran masing-masing diri kami dan kehadiran orang-orang lain kepada kehidupan kami.
5. Namun kami sudah lebih tenang
Seperti membawa tenda di padang savana, angin bertiup kencang, udara dingin menusuk, hujan bersiap-siap, kabut tebal, puncak tak terlihat. Segala pelajaran dan kesusahan telah membuat kami belajar untuk memasang pasak kuat-kuat, membentengi tenda dengan flysheet, menyalakan sedikit lilin, mempertahankan kehangatan yang berasal dari harapan walaupun sedikit. Ketidakpastian adalah niscaya. Namun, ketika tangan menggengam, kami semakin yakin kami siap atas apapun yang terjadi di kemudian hari, karena kami saat ini berdua, karena kami berkomitmen untuk saling mengenal. Bahwa kemudian hal buruk pasti terjadi, kami sudah tenang dan semakin tenang. Bismillah.