Minggu, 15 Juli 2018

Delapan Bulan Menikah

Selamat malam.

Di antara draft tulisan yang tak kunjung selesai, di antara buku-buku yang kubacai halamannya secara acak, di antara proposal-proposal penelitian yang belum ada seperempat jalan, di antara skill memasakku yang bertambah baik karena setiap hari berlatih di hari-hari pengangguranku, di antara perjuanganku menghentikan kebiasaanku bangun siang, dan di antara usahaku untuk mendapatkan beasiswa S2, Aku ingin bercerita tentang pernikahanku yang berjalan sudah 8 bulan.

Aku mengetik tulisan ini di ponsel pintar suamiku yang canggih sekali. Kulirik sekali lagi cincin yang melingkar di jari manisku, seorang lelaki terlalu berani menautkan dirinya padaku, perempuan yang kata banyak orang rumit dan ceroboh. Lelaki yang tiap akan berangkat dan pulang kerja mengajakku berpelukan beberapa menit sambil berkata, "kita sudah menikah ya?" sambil tersenyum manis sekali, sedang di lain waktu bisa mengomel tanpa henti ketika aku ceroboh dan bangun kesiangan.

Ponsel pintar milik suamiku ini baru, karena sekitar dua minggu yang lalu ketika dia mengajakku berjalan-jalan di perbukitan di Pekalongan selatan secara tidak sengaja ponsel kami berdua terendam dengan sempurna di tas waterproof imut berwarna ungu hadiah dari suami. Kedua ponsel kami mati. Keindahan buķit yang penuh dengan keanekaragaman hayati itu mendadak hening. Di saat seperti ini, di saat kami berhemat karena aku sudah tidak bekerja sejak sebulan lalu, di saat kami sedang secara pas-pasan menyewa tempat tinggal sendiri, di saat suamiku ingin membelikan sepeda motor bekas untuk adiknya, di saat Aku sedang doyan jajan hahaha.. kami harus berusaha menyelamatkan ponsel tersebut.

Singkat cerita, ponsel tidak hidup, trik merendamnya dengan beras tiada berguna. Mood suamiku dari yang awalnya tenang, mulai menyebalkan. Dia sejak awal kutengarai sedang berusaha menyalahkanku tentang kejadian ini. Kenapa tutup botol di tas kami bisa terbuka? Kenapa kami menempatkan ponsel kami di tempat kami menaruh botol? Aku tidak terima. Namun, ada rasa bersalah sekaligus insecure. Selain ceroboh aku merasa tidak mampu memberikan sumbangsih agar komunikasi dengan orang lain tidak terganggu. Begitulah hingga akhirnya dia memutuskan membeli ponsel baru, karena ponsel kami belum juga pulih setelah dua minggu opname di tukang servis. Sedang aku harus terima dengan ponsel pintar sederhana pinjaman teman. Aku berpikir seandainya aku bekerja, pasti dengan mudah aku akan segera membeli yang baru.

Dia minta izin kepadaku untuk menggunakan uang kami yang sebenarnya mayoritas adalah uang dia untuk membeli ponsel, kusarankan yang bagus sekalian. Tabungan kami terpotong banyak, rasanya deg-degan, eman sekali. Entah apa yang ia rasakan. Namun di saat saya tak mampu menghasilkan uang sendiri seperti saat ini saya merasa sedih harus mengeluarkan uang dengan nominal segitu. Eman, tapi kami butuh hiburan. Ponsel ini sedikit mengobati kekecewaan dan kemarahan kami atas apa yang terjadi. 

Jadi, apa yang dapat kuceritakan di sini sebenarnya? Hal ini adalah salah satu kejadian dalam pernikahan kami. Sebenarnya ada beberapa hal penting lainnya yang menandai suatu fase dalam hidupku. Sesuatu dapat dikatakan fase penting, ketika suatu kejadian membawa dampak bagi hidup kita. Yang aku sadari ada perubahan signifikan dalam hidup kami, antara lain:

1. Kami mulai berhitung

Kami tidak lagi santai ketika belanja atau membeli sesuatu. Hal tersebut yang paling kuat aku rasakan. Kami memiliki beberapa rencana dan itu membutuhkan uang. Itu mengapa banyak orang menikah menjadi sangat spaneng kurasa. Sikap kita terhadap uang yang mulai bergeser.

Uang menjadi semakin utama karena ketakutan kita tak mampu menghadirkan kenyamanan dan kemewahan kepada pasangan dan anak-anak kita nantinya jika kita tidak menggunakannya dengan bijak. Dalam beberapa hal dan titik tertentu hal ini baik. Namun jika kadar ini berlebihan kurasa akan menjadi malapetaka. Kita akan lupa menikmati hari ini, kita lupa beberapa pengeluaran yang layak untuk menciptakan petualangan, pengalaman dan romantisme penguat hubungan.

2. Kami berpotensi saling menyalahkan jika ada hal buruk terjadi

Hidup berdua, kami membuat keputusan berdua. Kami selalu berusaha meminimalkan intervensi dari siapapun. Sehingga ketika hal buruk terjadi, sejatinya hal tersebut adalah cerminan diri. Namun bodohnya, frustasi kami membawa kami untuk mencari pelampiasan kemarahan. Dan siapa lagi yang bisa kami salahkan? Tentu saja salah satu di antara kami. Suara kami menggaung, keburukan yang kami sebutkan bersumber dari masing-masing diri kami sendiri. Kenyamanan dan kepercayaan sebagai suami istri kadang membuat kami berpikir kami berhak dan boleh melempar apapun kehadapan pasangan kami dengan keyakinan bahwa dia pasti dan harus menerima kami kembali. Dan sungguh jika kami tidak berhati-hati atas hal tersebut, kami berpotensi saling menghancurkan, saling melukai, saling membunuh karakter, saling melabeli.

Orang yang saling mencintai dan saling memiliki adalah orang yang paling berpotensi untuk saling menyakiti. Kami harus berhati-hati, kami harus memberi jeda dan mengehala napas ketika kebisingan mulai berdenging di telinga karena kami meneriakkan keburukan kami sendiri ke muka pasangan. Jika kita tidak mengenali tanda tersebut kebisingan akan menelusuk di hati dan menguasainya.

3. Aku merasa rendah ketika tidak dapat berkontribusi secara finansial

Sejak aku kecil bapak sering mengingatkan, perempuan harus mandiri, termasuk dalam hal finansial yang berarti bekerja. Bapakku mengatakan hal tersebut karena melihat bagaimana perempuan di sekitarnya diperlakukan semena-mena oleh lelaki. Bapakku sadar, lelaki di Indonesia masih jauh perjalanannya untuk mampu memandang perempuan setara, dengan tidak mendomestifikasi dan tidak membuat perempuan tergantung kepadanya sehingga dia bisa memperlakukan seenaknya dia saja, untuk kawin lagi atau mencari kesenangan sendiri. Sedang rahim perempuan bukan sepenuhnya milik perempuan, masyarakat mengharuskan dia beranak, lelaki membutuhkan anak untuk mengukuhkan kelelakiannya. Sehingga perempuan kawin dengan lelaki untuk beranak, perempuan tidak bekerja karena seperti itu sudah aturannya, lelaki mencari kesenangan di luar, anak tidak dinafkahi.

Bapak dan ibukku sudah terbiasa mendengar kisah perempuan direndahkan lelaki di kampung-kampung, cerita begini bukan hanya dikisahkan oleh de Beauvoir saja. Sudah berapa perempuan yang coba mereka tolong secara teknis dan psikis. Tidak salah bukan jika mereka berdua hanya tidak mau anaknya diperlakukan demikian dengan seorang lelaki? Apa artinya mereka berdua tidak percaya kepada kasih sayang menantunya? Tidak, bukan begitu. Mereka percaya suamiku adalah lelaki yang memandang perempuan sepenuhnya manusia dan punya kekuatan. Namun, kepercayaan itu baiknya bukan digantungkan kepada orang lain, tetapi diri sendiri. Untuk mandiri, untuk siap atas apapun yang akan terjadi di kemudian hari. 

Mengingat hal tersebut, aku seringkali khawatir jika tidak bekerja. Selain khawatir aku hanya akan jadi beban untuk suami, aku juga khawatir jika suatu saat hal buruk terjadi aku tidak mampu menopangnya. Aku merasa rendah. Pelukan suamiku meyakinkanku, bahwa ada saatnya aku harus meletakkan kekhawatiranku tersebut. Bahwa kontribusi seseorang tidak selalu tentang uang. Dan ketergantungan seseorang ke seseorang lainnya juga tidak selalu tentang uang. Maka kami sepakat walaupun bersama kami akan saling mengadakan rencana cadangan. Suamiku belajar memasak kemarin, berjaga-jaga jika hal buruk terjadi padaku. Terutama kami berencana memiliki anak dan mengusahakan kesejahteraan sebaik-baiknya untuk mereka kelak. Tentu saja kami tidak boleh gagal fungsi. Selain itu, kami harus mulai melihat bahwa pemberian bukan selalu tentang penanaman kuasa, tetapi juga ekspresi cinta. Begitu juga soal nafkah.

4. Kami sungguh terpaut dengan barang

Kami sadari, di tengah proses untuk saling menyelami kegembiraan dan kesedihan kami banyak sekali terkait dengan barang. Pertengkaran, ungkapan cinta kasih, frustasi, kesepian, pengabaian terwakili oleh barang-barang yang kami hadirkan dan kami lekatkan pada masing-masing diri kami. Baik sebagai nilai guna maupun sebagai nilai simbol. Begitulah kami sebagai manusia biasa yang terpacu, bersemangat maupun kehilangan karena barang. Saya tak dapat banyak berharap soal ini, saya hanya berusaha dan selalu berdoa agar kepemilikan kami terhadap sesuatu tak akan mampu mereduksi nilai atas kehadiran masing-masing diri kami dan kehadiran orang-orang lain kepada kehidupan kami. 

5. Namun kami sudah lebih tenang

Seperti membawa tenda di padang savana, angin bertiup kencang, udara dingin menusuk, hujan bersiap-siap, kabut tebal, puncak tak terlihat. Segala pelajaran dan kesusahan telah membuat kami belajar untuk memasang pasak kuat-kuat, membentengi tenda dengan flysheet, menyalakan sedikit lilin, mempertahankan kehangatan yang berasal dari harapan walaupun sedikit. Ketidakpastian adalah niscaya. Namun, ketika tangan menggengam, kami semakin yakin kami siap atas apapun yang terjadi di kemudian hari, karena kami saat ini berdua, karena kami berkomitmen untuk saling mengenal. Bahwa kemudian hal buruk pasti terjadi, kami sudah tenang dan semakin tenang. Bismillah.

Kamis, 12 April 2018

Meninggalkan Jogja

Dua bulan lagi saya akan pindah ke kota lain, meninggalkan jogja yang sudah saya singgahi dalam hidup saya sejak Agustus 2008, hampir 10 tahun dan itu menimbulkan kekhawatiran sendiri bagi saya. Anggap saja saya lemah atau berlebihan. Walaupun saya sudah berusaha menempa diri saya saya untuk dapat tinggal di mana saja, Namun tetap saja meninggalkan seluruh rencana, koneksi, impian, dan kemudahan yang dilimpahkan Gusti Allah di jogja itu berat. "Kan, masih bisa berkunjung?", Kata banyak orang. Berkunjung dan tinggal itu tetap saja beda.

Saya tidak dapat berbuat banyak tentang hal ini, selain untuk terus optimis dan menjalani hari-hari saya sebaik-baiknya. Kata orang jika kita gelisah dan khawatir artinya kita hidup di masa depan dan ketika kita sedih artinya kita hidup di masa lalu. Saya berusaha untuk tetap optimis dan menjalani hari ini sebaik-baiknya. Walaupun saya tahu ketakutan dan kekhawatiran tersebut akan terus datang dan pergi. Saya berusaha untuk tidak meniadakan hal tersebut, karena denial adalah hal yang paling melelahkan sepanjang saya hidup.

Melalui tulisan-tulisan mungkin saya bisa mengurai kekhawatiran saya dan pada akhirnya saya mampu mengambil hikmah dibalik rencana Allah ini. Saya jatuh cinta kepada seorang lelaki dan walaupun dengan terpaksa, Saya harus melakukan penyesuaian terhadap mimpi-mimpi saya, termasuk meninggalkan Jogja.

Saya sering menghibur diri, mungkin ini saatnya saya mendapat ujian sebenarnya, mungkin ini saatnya seluruh pengetahuan saya menemukan ladang amalannya atau medan perangnya. Seperti setelah saya berguru dan ditempa 10 tahun di Jogja, dengan segala keterpurukan hingga bangkit kembali. Setelah saya selalu disuapi kemudahan hidup di Jogja, mulai dari mudahnya tempat untuk pengajian dan diskusi dari paling kiri sampai yang paling kanan, murah dan meriahnya seni-seni pertunjukkan, sederhananya  dan leburnya persinggungan diri kita dengan masyarakat berbagai kelas, hingga betapa seriusnya anak-anak muda dalam menggodog roadmap mimpi-mimpi mereka. Semua berjejaring dan bergandengan tangan, dengan idealisme masing-masing yang dipegang teguh, mereka berjalan beriringan.

Apa Jogja semanis itu? Iya Jogja semanis itu, tetapi Jogja memang tidak selalu indah. Saya dan kita tidak bisa menafikkan adanya konflik kepentingan, konflik graria hingga darurat air bersih ditambah carut marutnya pembangunan Jogja belakangan ini yang memang perlu menjadi perhatian penting. Mungkin mereka yang berbondong-bondong meracik mimpi, membangun bata-bata kokoh sebagai rumah di Jogja ini juga mengalami romantisme yang saya alami selama ini. Masalahnya memang bukan hanya romantisme, seluruh kemudahan persinggungan dan keterpaparan terhadap pengetahuan itu yang membuat kita mecandu Jogja. Namun, ya begitu Jogja menjadi semakin penuh. Jadi saya berpikir ini saatnya saya menjadi dermawan untuk untuk mengikhlaskan sedikit ruang saya bagi orang lain yang ingin berguru di Jogja.

Ahh, Ataukah memang sudah saatnya saya mandiri? tidak selalu tergantung dengan Jogja, tempat di mana patah hati paling buruk mudah saja disembuhkan dengan hanya keluar pintu kamar dan makan kenyang di angkringan lalu pergi ke Taman Budaya untuk menonton pertunjukkan gratis? Ahh Apakah sebenarnya saya hanya takut kemandirian yang selama ini dihadiahkan oleh Jogja dengan cuma-cuma ini akan dirampas oleh orang lain jika saya tidak tinggal di Jogja? Maksudnya adalah, saya mampu dan selalu mampu bergerak sendiri di Jogja karena semuanya pas dan tepat, sedang di Kota lain saya butuh orang lain untuk berbahagia.

Apakah sudah saatnya saya untuk memberi karena selama ini saya selalu menerima?

Allah selalu punya kejutan, dan ini memang kejutan yang cukup menggelisahkan. Saya berharap saya bisa segera menyelesaikan perasaan ini dan sebenarnya Suami saya adalah partner yang sangat sabar. Saya tidak ingin membuatnya ikut insecure dan sedih karena saya tidak bisa berbahagia di kota lain. Mungkin juga ini saatnya saya harus mulai membuka diri dan berbagi dengan orang lain. Saya terlalu lama mengatasi segalanya sendiri. Ini saatnya saya berbagi dengan suami saya dan percaya dia akan mendampingi saya hingga saya mampu menciptakan kebahagiaan dan melanjutkan mimpi-mimpi saya seperti di Jogja. Tidak sama persis, tapi sepenuh, sehidup dan sesemarak di Jogja.

Hari ini terlalu banyak kemungkinan perputar di otak saya memahami rencana Allah ini. Saya akan terus berdoa yang terbaik untuk Saya dan suami saya. Dan saya akan selalu mencintai Jogja, bagaimanapun caranya atas segala yang diberikan kepada Saya. Namun saya harus melakukan sedikit refleksi kembali, apakah cinta saya selama ini ke Jogja karena saya selalu diberi bukan memberi?

Selasa, 10 April 2018

Hidup seklise itu

Ya, Hidup seklise itu. Sepertinya saya sudah pernah menuliskan hal ini beberapa waktu lalu. Mengenai kesiapan kita dalam menjalani hidup yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Saya sering dengan ketidakpedulian saya yang besar bertanya kepada teman-teman yang hidup di jakarta, "Kenapa sih mau-maunya kerja di jakarta?", "Kok betah di jakarta?", "Cari apa di jakarta?", yang biasanya hanya dijawab, "he-he-he" oleh teman-teman saya. Saya tidak paham itu adalah pertanyaan paling bangsat, tak berkeperimanusiaan dan ternyata paling dibenci teman-teman saya yang tinggal dan bekerja di jakarta sebelumnya, hingga teman saya mengatakan hal tersebut di media sosialnya.


Saya tertegun menyadari bahwa selama ini pertanyaan saya mungkin telah menghempaskan perasaan teman-teman saya hingga mereka kehilangan kata-kata selain he-he-he.


Beberapa waktu lalu saya menulis, kurang lebihnya begini dalam menyelami metafora:

"Membaca buku yang kamu suka itu biasa, membaca buku yang kamu benci (dari orang yang tidak kamu suka pemikirannya) itu luar biasa. Semangat bekerja bersama tim kesayanganmu itu biasa, semangat tidak berkurang sedikitpun ketika bekerja sama dengan tim yang tidak sejalan denganmu itu luar biasa. Menyambut dengan berbinar atas masa depan yang kamu impi-impikan itu biasa, tetap bersiap dengan antusiasme yang sama menghadapi kehidupan yang jauh dari harapanmu itu yang luar biasa. Hidup memang seklise itu dan klise memang semenggelikan itu. Namun, ibukku bilang dengan sikap seklise itu dia terus menanam walau tidak memiliki lahan dan bisa memanen buah yang manis sekali rasanya. Tidak banyak, tapi manis dan layak ditunggu."

Saat itu sejatinya saya hanya menulis dalam konteks membaca buku yang saya tidak suka dan kaitannya dengan kesabaran, cinta-kasih ibu saya dalam menanam, merawat lalu menunggu buah-buahan tanamannya matang untuk dipanen. Beliau tetap ngeyel untuk terus menanam di lahan Surabaya yang terbatas. Entah bagaimana kalimat itu berkembang dan menganak menjadi sebuah paragraf yang saya rasa kini harus saya jadikan self note untuk menghadapi hidup yang tanda tanya. Seperti Soe Hok Gie bilang, bahwa hidup adalah soal keberanian menghadapi tanda tanya.

Intinya, hari ini saya seperti merangkai hikmah, bahwa pertanyaan saya soal tinggal di jakarta, suatu saat akan berbalik kepada saya. "Mengapa meninggalkan Jogja yang nyaman dan berlimpah ilmu serta kemudahan?", misalnya. Dan saya mungkin hanya akan menelan seluruh kecamuk yang seketika menyeruak di dalam dada dan pikiran saya, bahwa hidup seklise itu dan klise memang semenggelikan itu karena saya hanya mampu menjawabnya dengan senyuman sambil terus berdoa, semoga selalu ada jalan untuk bermanfaat dan menghidupi mimpi, di Jogja atau di manapun.

Seketika terlintas kalimat Mbah Buyut saya yang tidak kalah klise:

"Ningndi-ndi kui Bumi-ne Pangeran." Al-fatehah, matur nuwun mbah yut.


Bersama

Mereka yang berjalan bersama, memilih menempuh ribuan kilometer atau menyulam jutaan kenangan bersama, apakah mereka benar-benar dipertemukan oleh mimpi yang sama?
Ataukah ada salah satu yang mengorbankan mimpinya untuk mewujudkan mimpi salah satu yang lainnya? Atau bergantian untuk membantu mewujudkan mimpi salah satunya?

Apakah ketika Mereka sepakat untuk berjalan menjadi Kita lalu dalam sekejap Aku seharunya lebur begitu saja? Tidak adakah atau tidak boleh adakah perjuangan Aku tetap menjadi Aku dalam Kita dengan tetap merayakan sebuah Kita?

Bagaimana sebenarnya konsep bersama ini? Apakah ada bersama yang tulus? atau sejatinya semua kebersamaan, bagaimana pun adalah tentang kesepakatan transaksional yang mudah saja terganti ketika seseorang tidak bisa memenuhi syarat dan kondisi yang telah disepakati di awal untuk menjelma Kita?

Apakah ada bersama tanpa syarat?
Apakah ada bersama tanpa harus saling membunuh mimpi atau salah satu dengan rela membunuh mimpinya?
Apakah lalu tidak cukup mimpi mereka berdua sehingga harus dipertimbangkan mimpi-mimpi orang lain?

Apakah bersama selalu seberisik ini?

Minggu, 08 April 2018

Bapak dan Semangat Melawannya

Minggu lalu saya bertemu Bapak saya, untuk untuk mengunjungi Adik Saya di  Banjarsari, Ciamis. Hal baik dan menyenangkan terjadi, saya seperti pulang kembali walau tidak di rumah Surabaya. Ya simple sih, karena bertemu keluarga pasti terasa di rumah kan. Namun, saya mendengar beberapa hal menyebalkan, Bapak saya mulai tua, Beliau sedikit berbeda, menjadi lebih khawatir dan bawel. Saya bukan korban kebawelannya, mungkin adik dan suaminya yang lebih banyak dapat ungkapan kekhawatirannya. Beliau mulai terdengar agak mendikte, menggunakan standard masyarakat, walaupun memang tidak sepenuhnya karena ada beberapa alasannya yang saya setuju. Beliau juga mencoba berbicara pada saya tentang kekhawatirannya dan beliau punya saran yang menurutnya lebih baik. Saya melawan, beliau tau itu, Saya pasti melawan. Saya anaknya, mewarisi semangat perlawannya.

Jika saya sering bicara semangat untuk melawan norma yang saklek dan konstruk sosial yang normatif, kontraproduktif, serta tidak substansif, sejatinya Bapak saya lebih paham semangat perlawanan tersebut. Beliau, dari yang saya dengar dan saya alami hidup bersamanya, telah melawan seumur hidupnya. Beliau melawan kemauan orangtuanya untuk menjadi polisi maupun aparat. Beliau melawan standard masyarakat untuk menjadi pegawai. Beliau melawan cibiran tetangga untuk tidak menyekolahkan kami hingga perguruan tinggi. Beliau melawan kentalnya NU dengan segala atribut keagamaan yang menurutnya memberatkan. Beliau melawan setiap orang yang berusaha memdikte anaknya. Menuliskan daftar perlawanan beliau tersebut terasa mudah dan sederhana, tapi prosesnya sungguh tidak mudah terutama jika hal tersebut menyangkut kebutuhan-kebutuhan pokok dan bersinggungan dengan masyarakat komunal.

Beliau selalu melawan sepanjang hidupnya, pasang badan untuk seluruh keunikan anggota keluarganya, hingga membuktikan bisa hidup dan membawa kebahagiaan sepenuhnya ke rumah kami. Beliau tidak selalu sukses, tersungkur pun pernah, hingga tidak tahu harus bagaimana, hingga harus tertatih untuk bangkit kembali.

Beliau pernah tersungkur lalu mencapai fase yang baik saat ini, saat usianya sudah lebih dari separuh abad. Mungkin hal tersebut yang membuatnya menjadi sedikit berbeda, beliau merasakan kelelahan dalam melawan dan tidak ingin anaknya merasakan ketersungkuran yang menyakitkan. Teman saya pernah berkata, kedewasaan seseorang ditentukan ketika seseorang mulai merasa apa yang dikatakan orangtuanya dulu, dulu sekali adalah masuk akal. Bapak saya mungkin mulai berpikir dan bertindak seperti Bapaknya dulu.

Namun saya melawan, dan kami harus melawan. Bapak saya sadar beliau juga harus melawan, dan saya tahu selama ini beliau selalu melawan. Selama ini Bapak saya membiarkan anak-anaknya tumbuh dengan cara masing-masing. Bapak saya mempercayakan setiap keputusan kepada jiwa-jiwa anaknya. Beliau berusaha percaya, tidak hanya dengan uang dan standard masyarakat yang telah diamini secara massal, seorang manusia bisa bermanfaat dan bahagia. Beliau berusaha percaya walaupun khawatir. Saya paham dan saya yakin banyak sekali kalimat yang beliau telan dan tercekat di tenggorokannya setiap bertemu anak-anaknya, banyak detik yang tidak bisa beliau rebahkan karena pikiran-pikirannya membawa jiwanya terbang ke depan pintu-pintu rumah kami, anaknya, tanpa berani masuk. Maka beliau melawan kekhawatirannya, Bapak saya melawan jiwanya yang mulai menua.

Didampingi seorang istri yang naif dan dan normatif, Bapak saya meredakan kegelisahannya, amarahnya dan percaya semua akan baik-baik saja. Beliau percaya setiap manusia berhak diberi kesempatan untuk berpikir dan berbuat kesalahan. Maka beliau melawan, daripada terus mengomel, beliau berusaha untuk menawarkan solusi praktis. Solusi-solusi yang untuk dipilih maupun ditolak anak-anaknya, bahkan untuk ditanyakan kembali oleh anak-anaknya ketika kami sudah dihempaskan ketidakberuntungan, ketika kami sudah hilang bentuk dan butuh rumah untuk pulang.

Terimakasih untuk selalu melawan, Bapak. Maka lawanlah setiap hal yang melemahkan tubuh dan jiwamu. Sehatlah selalu.

Rabu, 28 Maret 2018

Saya ingin menulis lagi

Belakangan ini, mungkin bisa disebut setahun belakangan ini, ya semenjak saya bekerja, waktu untuk membaca, merenung, membenturkan perenungan saya dengan realita di lapangan dan lalu menuangkannya ke dalam tulisan menjadi banyak berkurang. Jauh berkurang. Sebut saja saya membuat excuse terkait kesibukan saya bekerja itu, saya memang selalu begitu, membuat excuse atas kemalasan dan ketidakmampuan saya melakukan manajemen waktu yang baik. Selanjutnya, karena saya merasa pernah menulis dan memiliki concern tertentu, saya merasa panas setiap ada teman-teman memposting tulisan di laman blognya. Bagaimana mereka bisa mengatur waktu sedangkan saya tidak? Menurut saya menulis di blog itu bagaimanapun lebih terhormat karena membutuhkan pemikiran yang lebih komprehensif dari meracau sepotong-potong di dunia maya. Blog juga membawa kita fokus memilah niat kita dalam menulis, menjaga kejernihan kita dalam berpikir dan mengolah subyektifitas kita, sehingga kita tidak tergelincir pada niatan untuk pamer pemikiran saja ya karena orang yang terpapar konten blog kita tidak sebanyak di sosial media. Saya sudah menyadari hal ini sejak lama, namun di tengah waktu yang sedikit dan input yang begitu banyak, sosial media memang seringkali menjadi pilihan yang instan untuk melempar emosi. Setelahnya sudah. Tidak dewasa ya? ya saya pikir saya 3-4 tahun lalu saja lebih dewasa daripada hari ini.

Hari ini saya memutuskan menulis lagi, mengenai apapun. Proses menulis saya berhenti, kemampuan saya menelaah dengan jernih juga berhenti, namun input saya tetap (walaupun telah bergeser dari buku dan kegiatan lapangan menjadi pertemuan-pertemuan dan kebijakan-kebijakan ketika saya mendapat tugas di pekerjaan saya), sehingga proses berpikir saya tidak berhenti, kegelisahan saya menganak terus, mengalir minta difasilitasi, dituangkan menjadi sebuah output. Setahun ini saya galagapan untuk mencari cara yang tepat dalam memanifestasikan input yang berlebih ini menjadi output. Bukannya fitrahnya begitu? Input harus seimbang dengan output. Jika kita makan banyak, maka kita akan membuang banyak, jika tidak begitu kita bisa meledak dan badan tidak enak. Setahun ini saya mencoba kembali menggambar. Ya menggambar seadanya, kadang gambar saya tidak selesai, kadang gambar saya jadi tidak sesuai harapan saya, tapi itu lebih baik daripada saya mengikuti labirin pemikiran saya yang seringkali membuat saya frustasi dan gagal menerima kenyataan, singkatnya menjadi insecure dan menangis.

Kadang saya mencoba menenangkan diri, bahwa saya tidak harus bisa semuanya, saya tidak harus menguasai segalanya, saya tidak harus pandai menulis. Namun, saya segera sadar, untuk siapa saya menulis? untuk membuat orang lain kagum kah? Saya sadar, saya lah yang membutuhkan menulis untuk menceritakan apapun yang saya temui dalam perjalan panjang saya. Sebuah perjalanan untuk melengkapi filosofi favorit saya, filling the gaps and connecting the dots, yang dalam prosesnya seringkali menggelikan dan melelahkan. Menggelikan karena sering kita temui apa yang kita sebut penting ternyata hanya omong kosong yang dibuat penting dan menjadi barang dagangan. Melelahkan karena selalu ada hal baru yang membuat saya belajar dan belajar lagi, yang membuat saya merendahkan ego saya serendah-rendahnya karena kalau tidak saya akan babak belur.

Apakah ada hal indah yang bisa saya tulis? Entahlah hahaha, saya hanya ingin menulis sesuatu dengan bernas. Entah sejak kapan saya mengartikan bernas adalah kebebasan dalam menggunakan umpatan dan berbicara hal-hal yang tidak menyenangkan. Entah sejak kapan saya mengartikan bernas berarti kritik. Entah sejak kapan saya mengartikan bernas adalah menghindari kalimat indah bersayap dan normatif. Mungkin saya sudah terlalu jengah meladeni liukan kata-kata indah yang penuh pencitraan sedangkan mereka terlalu takut menyatakan pemikirannya sendiri. Saya jengah mendengar dan membaca seseorang merepetisi pemikiran tokoh lain dan mengutip kata-kata dari media sosial, tanpa berusaha menggali lebih dalam kegelisahaan apa yang membuat mereka tidak tidur, dan perasaan apa yang membuat tubuh mereka bergetar. Saya jengah, tulisan datar, indah dan normatif disebut tulisan. Saya negatif sekali ya? hahahaha begitulah, kadang saya paling pandai menyumpalkan kecurigaan dan penghakiman ke batang otak saya terhadap orang lain. Padahal mungkin saja mereka memang menuliskan apa yang mereka rasakan, hanya saja mereka merasa dan berpikir secukupnya. Mungkin mereka pandai membatasi variabel dalam kehidupannya.

Ya saya pikir saya akan menulis tentang keindahan juga, karena saya juga merasakan betapa intens nya kebahagiaan yang saya dapati dalam gegap suka dan gempita rasa setahun belakang ini. Setahun lebih tidak memulangkan seluruh kegelisahaan dalam blog ini, mungkin saja ternyata karena saya sedang terlalu bahagia, saya bekerja sesuai yang pernah saya impikan, saya bepergiaan bertemu banyak orang, saya lulus setelah 8 tahun 11 bulan dan saya menikah dengan lelaki yang tidak pernah saya sangka hadirnya ke dalam hidup saya (and damn i'm so accidentally in love!). Dan di antara itu kesedihan datang dan pergi, mimpi-mimpi lama muncul kembali, rasa pedih atas kegagalan menyeruak, keinginan untuk melakukan hal lain menghambur ke muka dan menelisik ke malam-malam saya. Namun semua ketidakasyikan itu tak cukup membuat saya kabur, menepi dan meratap di blog ini.

Saya mungkin tidak bisa berjanji akan datang kesini dengan cerita-cerita indah terus, tetapi saya akan berjanji akan berusaha berbagi hal yang indah juga yang saya alami. Saya bisa bercerita bagaimana pengalaman pendampingan saya selama setahun di Bima dan Palangka raya, bertemu orang rumah sakit, masyarakat dan para pejabat. Well ini pertama kali saya melakukan pendampingan secara profesional dan lama. Banyak sekali yang saya pelajari dan evaluasi, mungkin akan bermanfaat jika saya membagikannya secara serius tapi santai. Mungkin juga usaha saya dalam kuliah lagi, yang sayang sekali sering di langkah pertama, persyaratannya membuat saya meringis, just because i made mistakes in the past, alot mistakes! Bukankah hal macam itu juga indah? Ya, saya pikir akan indah jika saya tulisankan susah-susahnya dulu hari ini dan suatu hari saya mendapatkannya (amin hahaha), success story selalu indah kan? Dan well, satu lagi yang sangat krusial dalam setahun terakhir, saya mengalahkan ketakutan saya untuk berbagi kehidupan dengan orang lain dalam pernikahan. Marriage life is a deal! a big deal! i'll share some stories, promise you! Dan mari kita lihat bersama bagaimana bekerja, menikah dan masih memeluk mimpi mengubahku menjadi seseorang yang lebih dewasa atau malah tidak sama sekali? hahaha

Dan kesenangan saya bermain-main dengan pikiran, yang kadang saya hasilkan setelah membaca sesuatu, mungkin juga perlu diberi wadah. Saya akan belajar metodologi dan alat riset yang baik, melengkapi teori dan mencoba mengartikulasikannya, untung-untung bisa saya kirimkan ke kompetisi essay, jurnal atau cukup saya lempar ke sini karena sepertinya melemparkan hal seserius dan sembulet itu ke media sosial cukup membuat teman-teman saya mual. lol see how insecure i am!

Well begitulah, selamat datang kepada diri saya sendiri kepada rumah yang pernah saya bangun dan cukup lama saya tinggalkan, blog ini, the house of serendipity! Semoga selalu ada kesempatan untuk bercengkerama, baik dengan orang di sekitar kita maupun dengan diri sendiri, untuk mengupasi satu-satu apa yang terlanjut kita anggap benar.

Salam, i love you my self, i love you suamiku, terimakasih selalu menemani.

Minggu, 30 Juli 2017

Kepada Teman Lama

Suatu saat aku akan menuliskannya dengan tuntas, tentang perjalanan panjang di tengah padang ilalang, atau kelok perbukitan saat gelap hujan, dan bintang menjadi pengawal. Kita membawa tim, dan kamu memintaku untuk memperhatikan kondisi mereka. Aku berharap aku bisa memimpin segagah dirimu, tapi tidak banyak yang bisa percaya padaku. Kukutuki kondisiku sebagai perempuan. Nyatanya memang kepemimpinanku payah dan aku terlalu cengeng. Suatu saat aku akan menuliskannya, kita dipisahkan oleh kemarahan kita masing-masing, pertemanan menjadi tidak mudah. Aku pergi. Kamu pergi. Kita mengejar mimpi dan bahagia sendiri-sendiri. Tugas membebani dan kita pergi hanya untuk menari, atau berlari. Sejenak dan/atau untuk selamanya. Suatu saat kita pasti bertemu, dengan cara berpikir yang mungkin berbeda atau sama saja. Namun, selalu menyenangkan bahwa kita memiliki bahasa yang hanya kita pahami artinya, tidak orang lain. Bahasa yang lahir dari pengalaman panjang. Mata kita bertemu dan kita tertawa. Brengsek, kenangan menyeruak. Kita sudah terlalu berbeda untuk merangkai mimpi bersama. Teruskanlah kawanku, aku mungkin tak punya waktu. Namun doa katanya lebih mudah dan murah, aku yakin aku masih bisa memberikannya kepadamu, berkali-kali, berlipat ganda.